Bunyi dan Aksara dalam Bahasa Arab by Zaki Ghufron



BAB I
Bahasa menurut para ahli bahasa (linguis) memiliki pengertian berbeda-beda. Salah seorang dari mereka yaitu Ibnu Jinnî[1] mendefinisikan bahasa dengan bunyi yang digunakan oleh setiap masyarakat (bangsa) untuk mengungkapkan maksud mereka. Bahasa juga dapat berupa sistem lambang, atau ungkapan kata-kata yang digunakan manusia untuk keperluan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan pengertian tentang bahasa inilah, yang melahirkan kenyataan bahwa bahasa dapat berbentuk lisan maupun tulisan.
Bahasa dalam manifestasinya yang pertama adalah berupa ujaran atau bunyi, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Bukan sembarang bunyi saja,melainkan bunyi tertentu, yang agak berbeda-beda menurut bahasa tertentu. Bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua yakni fon dan fonem. Fon merupakan bahan baku yang diambil dari bunyi ujaran atau bahasa tutur, tanpa melihat fungsinya sebagai pembeda makna atau tidak. Sementara fonem adalah satuan terkecil dari bunyi-bunyi yang berfungsi dalam membedakan makna.
Bunyi-bunyi bahasa Arab (fon dan fonemnya) keduanya juga dinamakan segmental sebagaimana bahasa-bahasa di dunia dapat diklasifikasikan menjadi vokal dan konsonan, selain juga unsur suprasegmental. Jumlah fonem bahasa Arab adalah sebanyak 34, yaitu enam vokal dan 28 konsonan. Unsur suprasegmental tidak dimasukkan ke dalam klasifikasi fonem bahasa Arab, karena tidak digunakan untuk membedakan makna umum suatu ujaran.
Fonem merupakan media yang penting untuk mempermudah dalam mempelajari bunyi ujaran suatu bahasa, terutama dalam mempelajari bunyi ujaran suatu bahasa, terutama dalam pengajaran bahasa sebagai bahasa asing sebagaimana pengajaran bahasa Arab di Indonesia.
Meskipun dikatakan bahwa bahasa lisan adalah primer dan bahasa tulisan sebagai sekunder, tetapi peran dan fungsi bahasa tulis sangat besar untuk manusia dalam kehidupan modern. Bahasa tulispun sebenarnya merupakan “rekaman” bahasa lisan yang dapat menembus ruang dan waktu sehingga dapat disimpan sampai waktu yang tak terbatas, dan dapat dimanfaatkan bagi generasi selanjutnya. Martha C. Pennington mengungkapkan “The fact that written document have much longer survival period than individual humans mean that the conventions of written language of one generation can easly be preserved into the next generation”. Dalam hal ini bahasa tulis memiliki banyak kegunaan seperti sebagai media penting dalam pembuatan dokumentasi, administrasi, dan pendidikan, terutama pengajaran bahasa asing.
Aksara (ortografi) adalah sistem tulisanyang dibuat untuk digunakan secara umum dan berlaku di dalam masayrakat suatu bahasa. Aksara dibuat untuk dapat menggambarkan bunyi yang sebenarnya dari suatu bahasa, biasanya acuan pembentukan aksara adalah suatu bunyi yang memiliki fungsi pembeda makna. Dalam sejarah kehidupan manusia, aksara telah melewati beberapa perubahan dari mulai piktograf, ideograf, aksara silabis, sampai pada aksara yang ada sekarang ini. Menurut Clive Holes, aksara Arab sangat konsisten dan sangat dekat dengan bunyi bahasanya, jika dibandingkan dengan bahasa yang lainnya. Hal itu dapat dilihat bahwa setiap huruf primer dan tanda lain dalam aksara Arab dapat menggambarkan fonem, sekaligus alofon-alofonnya (varian). Dengan segala konsistensi dan ketelitian yang dimilikinya, aksara Arab masih memiliki kelemahan dalam pelambangan bunyi bahasa Arab. Aksara Arab belum dapat melambangkan bunyi ujaran bahasa Arab secara akurat, terutama unsur suprasegmental.
Menulis merupakan salah satu keterampilan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa Arab, baik sebagai bahasa ibu maupun bahasa asing. Bentuk pengajaran keterampilan menulis ini berbeda-beda mulai dari bentuk kaligrafi, menyalin, menulis secara dikte sampai dengan menulis bebas. Dengan ragam dan bentuk pengajaran menulis diatas masih saja terjadi kesalahan-kesalahan dalam penulisan huruf Arab. M. ‘Ali al-Khulli menegaskan bahwa kesalahan yang sering terjadi dalam kegiatan imla diakibatkan karena kesulitan dalam bunyi-bunyi yang berdekatan, kesulitan dalam penulisan hamzah, lam al-syamsiyah dan lam al-qamariyyah dan lain-lainnya.
Penelitian yang terdahulu tentang pembahasan bunyi dan aksara Arab telah dilakukan Sibawaih dalam kitabnya yang bernama al-Kitâb pada bab al-Idghâm. Ibnu Sînâ pun juga membahasnya dalam bukunya Asbâb Huduts al-Huruf. Bunyi bahasa Arab juga diteliti oleh ahli bahasa Arab modern yakni Tamâm Hassân dalam bukunya yang berjudul Manahij al-Bahts fi al-Lughah.
Jenis penelitian yang ditempuh penulis adalah kepustakaan (library research), objek penelitiannya adalah data-data yang mengungkapkan proses pengaksaraan bunyi-bunyi bahasa Arab dan kesulitan-kesulitan yang dapat menjadi kendala dalam penggunaan aksara sebagai pelambang bahasanya. Dan analisa data menggunakan teknik analisis kualitatif.
BAB II
BUNYI DAN BAHASA TULIS
Bunyi merupakan salah satu bahan yang menjadi kajian linguistik baik dalam tataran fonetik maupun fonemik. Bunyi yang dikaji oleh keduanya bukan sembarang bunyi, tapi bunyi yang dianggap bunyi bahasa. Kedua tataran linguistik tersebut masing-masing memiliki tujuan tertentu yang berbeda, dan diantara tujuannya adalah pembentukan sistem tulis. Bahasa tulis merupakan turunan dari tataran bunyi, dalam arti pembentukannya sangat terkait dengan klasifikasi bunyi yang dihasilkan oleh kedua kaijan bunyi bahasa. Dalam bahasa Arab bunyi ada tiga kata yang bermakna bunyi yaitu lafaz,jahr, shaut dan dalam bahasa Inggris yaitu voiced sound.
Beberapa ahli bahasa mendefenisikan bunyi bahasa dengan yang bersumber dan dihasilkan oleh manusia. Pengertian bahasa menurut Kamali Bisyr berkaitan erat dengan tiga sisi, yaitu artikulasi, akustik, dan auditoris. Dengan begitu dapat disimpulkan untuk memahami makna yang sebenarnya tentang bunyi bahasa dapat dilakukan melalui ketiga aspek tadi. Sisi pertama (artikulasi) merupakan sisi yang paling sering mendapat perhatian dari para ahli bahasa, alasannya adalah pertama, sisi artikulasi inilah yang sering menjadi landasan analisis bunyi bahasa, karena dianggap mudah untuk semua kalangan. Kedua, sisi ini juga biasanya dapat mengungkapkan bunyi-bunyi bahasa secara lebih baik dan terperinci. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bunyi bahasa ialah pengaruh yang terjadi akibat pergerakan alat ucap manusia untuk menghasilkan suatu bunyi, yang terdengar dan dapat dipahami oleh seseorang karena adanya arus gelombang udara dan getaran-getarannya.
Bunyi bahasa tidak terjadi begitu saja, akan tetapi memerlukan beberapa sarana yang membantunya, antara lain, pertama, adanya arus udara yang bergerak dan dialirkan keluar dari paru-paru, kedua, adanya alat ucap yang bergerak (artikulator) yaitu bagian dari alat ucap yang dapat digerakkan atau digeserkan untuk menimbulkan suatu bunyi, dan ketiga, titik artikulasi yaitu bagian dari alat ucap yang menjadi tujuan sentuh dari artikulator, sehingga terjadi hambatan sesaat pada arus udara. Ketiganya merupakan faktor utama dalam proses penghasilan bunyi bahasa, tanpa ketiganya bunyi bahasa tidak akan terjadi.
Bunyi bahasa Arab-seperti bunyi bahasa pada umumnya, dibedakan atas vokal dan konsonan. Vokal dalam istilah Arab dikenal dengan al-ashwât al-shâitah atau al-harakât, sementara konsonan dikenal dengan al-ashwât al-shâmitah atau huruf .
a. Vokal
1. Bunyi-bunyi bahasa Arab dapat diklasifikasikan melalui suatu sistem yang telah diperkenalkan oleh Daniel jones. Sistem tersebut dinamakan vokal cardinal (cardinal vowels) yaitu suatu rangka gambar berdasarkan bunyi-bunyi vokal yang mempunyai kualitas bunyi tertentu dan bentuk bibir tertentu. Oleh karena itu vokal bahasa Arab diklasifikasikan menjadi: 1. Tinggi rendahnya lidah 2. Bagian lidah yang bergerak 3. Struktur 4.Bentuk bibir
b. Konsonan
Bunyi-bunyi konsonan menurut Marsono lebih mudah dibedakan dari pada bunyi-bunyi vokal karena secara fisiologis antara konsonan yang satu dengan konsonan yang lain terdapat perbedaan yang dapat dilihat dengan mudah. Oleh sebab itu tidak diperlukan prinsip bunyi cardinal.
Untuk mengklasifikasikan konsonan. Dalam hal ini konsonan dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Cara hambat
Klasifikasi konsonan ini dengan cara ini dilakukan dengan melihat dari titik hambat pada arus udara yang mengalir dari paru-paru saat artikulasi bunyi tertentu, melalui cara ini konsonan bahasa Arab dapat diklasifikasikan menjadi (a) konsonan letup (stops, plosives, infijârî) (b) konsonan tidak bersuara (c) konsonan paduan (d) konsonan tengah-tengah (mutawassith) yaitu konsonan yang sama sekali berbeda dengan cara hambat lainnya.
2. Bergetar-tidaknya pita suara
Proses klasifikasi konsonan bahasa Arab dengan cara ini, melahirkan (a) konsonan bersuara (voiced/majhûr) dan konsonan tidak bersuara (voiceless/mahmûs).
3. Tempat rambat
Hasil klasifikasi konsonan dengan cara ini –menurut Kamâl Bisyr berbeda antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya. Konsonan bahasa Arab dengan cara ini –dapat diklasifikasikan menjadi (a) bilabial (syafawiyyah) yaitu: ب/, م/, و/ . klasifikasi wâw dalam bilabial adalah pandangan ahli klasik, karena bibir memang memiliki pengaruh terhadap pembentukan bunyi ini, akan tetapi menurut ahli modern bunyi ini termasuk semi-vokal karena memiliki karakter keduanya. (b) labio-dentak (asnâniyyah syafawiyyah) (c) inter-dental (baina asnâniyyah )(d) apiko-alveolar (dzalqî latsawî) (e) apiko-dental-alveolar (dzalqî latsawî asnanî) (f) fronto-palatal (tharfî ghârî) (g) centro-palatal (wasthî ghârî), (h) dorso-velar (qushshî thabaqî), (i) dorso-uvular (qushshî lahawî), (j) rooto-faringal (jadzrî halqî).
Selain dengan ketiga cara di atas, konsonan bahasa Arab juga dapat dibedakan dari sifatnya baik tafkhîm atau tarqîq.
Bahasa lisan -menurut Kamal Bisyr- telah ada terlebih dahulu berabad-abad lamanya dari pada bahasa tulis, hal senada juga diungkapkan oleh Samsuri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahasa tulis merupakan turunan dari bahasa lisan, sehingga tidak heran apabila linguistik melihat bahasa itu adalah bahasa lisan (yang diucapkan), bukan yang dituliskan. Sebenarnya menurut Abdul Chaer linguistik juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab apapun yang berkaitan dengan bahasa juga menjadi objek pembahasan linguistik.
Perkembangan bahasa tulis dapat dikategorikan menjadi empat bagian yaitu: tulisan piktograf, tulisan ideograf, tulisan silabis, dan tulisan fonemis. Masing-masing sistem merupakan langkah awal untuk perkembangan sistem selanjutnya hingga sampai pada tulisan yang ada sampai sekarang.
Dalam linguistik dikenal tiga macam sistem tulisan, yaitu fonetik, fonemik dan ortografik. Tulisan fonetik berdasarkan pada setiap fon dilambangkan dengan satu lambang, sementara tulisan fonemik hanya melambangkan bunyi-bunyi bahasa yang termasuk kategori fonem. Sementara tulisan ortografik adalah penulisan fonem-fonem menurut sistem ejaan yang dibuat untuk digunakan secara umum di dalam masyarakat suatu bahasa. Sistem seperti inilah yang sekarang dipakai oleh bahasa-bahasa saat ini seperti aksara latin dan Arab.
Huruf dan tanda dalam abjad Arab melahirkan beberapa bentuk, seiring dengan posisi bunyi yang dilambangkannya dalam suatu kata. Bentuk-bentuk huruf ini menurut Muhammad Ali al- Khullî dikenal dengan nama alograf misalnya penulisan huruf ‘ain (ع) di awal, ditengah, dan di akhir berbeda-beda. Alograf huruf Arab lebih banyak dari aksara latin yang hanya mempunyai dua alograf yaitu hurf besar (A) dan huruf kecil (a). perbedaan ini menjadi karakteristik tersendiri dari huruf-huruf Arab.
Aksara setiap bahasa dibuat dan digunakan untuk merekam bunyi-bunyi bahasanya, baik segmental ataupun suprasegmental. Untuk tujuan tersebut aksara tidak hanya menggunakan huruf dan tanda namun dilengkapi dengan beberapa kaidah dalam penggunaannya. Sementara untuk menilai kemampuan suatu aksara, para ahli di bidang komunikasi menetapkan beberapa aspek yang harus dimilikinya, yaitu kesempurnaan, keharmonisan, dan kesederhanaan. Ketiga aspek ini harus ada pada suatu aksara, sehingga dapat dinyatakan sebagai aksara yang baik terutama apabila dibandingkan dengan aksara yang lainnya. Menurut Clive Holes sistem aksara Arablah yang paling konsisten dalam mengambarkan bunyi-bunyi ujaran bahasanya, namun dengan segala konsistensinya itu tidak luput dari kelemahan. Pada akhirnya menimbulkan usulan-usulan beberapa kalangan baik perbaikan ataupun penggantian sistem aksara yang digunakan untuk menuliskan bunyi-bunyi bahasa Arab.
Sistem bahasa tulis yang banyak digunakan bahasa-bahasa yang ada saat ini menggunakan sistem ortografi (aksara) yang berlandaskan pada pelambangan fonem bahasa dengan huruf atau tanda pada abjadnya dan lambang-lambang tersebut diatur sedemikian rupa dengan menggunakan kaidah dan ejaan bahasa itu, sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam tataran praktisnya. Dan pada akhirnya, semua sistem aksara yang digunakan banyak memiliki kelemahan karena bunyi-bunyi bahasa berkembang dengan demikian pesatnya sehingga terjadilah persoalan-persolan yang tidak dapat dihindari dalam penggunaannya oleh masyarakat suatu bahasa termasuk bahasa Arab.
BAB III
AKSARA ARAB
Sistem bahasa tulis yang digunakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa Arab dikenal dengan sebutan aksara Arab, bersifat alfabetis dan termasuk dalam kategori tulisan ortografis. Aksara ini terdiri dari beberapa huruf primer tersusun dalam beberapa susunan, sehingga melahirkan urutan-urutan yang disebut abjad (alphabet) Arab. Selain huruf primer juga digunakan pula beberapa tanda lain, berupa huruf berubah fungsi dan tanda diakritik untuk melambangkan beberapa bunyi tertentu. Huruf-huruf dan tanda baca ini juga dilengkapi dengan kaidah yang mengatur dalam penggunaannya.
Pada dasarnya aksara Arab memiliki dua macam bentuk atau mekanisme dalam penulisan, disebabkan adanya klasifikasi dan perbedaan pada bahasa Arab itu sendiri; pertama, Arab klasik (classical Arabic) dan kedua, Standar Arab Modern (Modern Standard Arabic). Bentuk pertama digunakan untuk menuliskan bahasa al-Quran dan literatur-literatur klasik, sementara bentuk yang kedua untuk menuliskan bunyi bahasa secara umum oleh penutur bahasa Arab dalam kehidupannya sehari-hari. Klasifikasi ini terjadi karena -pada waktu itu hingga saat ini- ada pendapat-pendapat ulama yang melarang dilakukan perubahan sistem tulisan dalam al-Quran. Tulisan sistem kedua –pada dasarnya- merupakan perkembangan dan hasil penyempurnaan sistem pertama akan tetapi ulama-ulama menginginkan al-Quran ditulis dalam tulisan yang pertama saja.
Para ahli berbeda pendapat tentang jumlah huruf yang tersusun dalam abjad Arab, Ahli bahasa klasik berpendapat ada 29 huruf sementara yang lain seperti Abu al- Abbas al- Mubarrid hanya memasukkan 28 huruf primer. Perbedaan kedua pendapat ini bertitik tolak dari perbedaan mereka terhadap huruf hamzah. Pendapat pertama memasukkan huruf hamzah sementara yang kedua tidak memasukkannya ke dalam huruf primer.
Alphabet Arab tersusun secara berurutan dimulai dengan huruf alif sampai ya. Berbeda dengan huruf latin, huruf-huruf Arab ditulis dari kanan ke kiri sedangkan huruf latin sebaliknya. Huruf Arab juga dapat disusun dalam beberapa susunan, baik secara abjad, hijai maupun secara makhraj. Susunan abjad merupakan pengaruh yang masih dibawa oleh abjad Arab dari abjad Aramia, susunan hijai merupakan susunan dan dibuat oleh Najr Ibn Ashim pada masa dinasti Umawiyyah, dan susunan makhraj merupakan susunan yang mengikuti urutan makhraj.[2]
Selain huruf primer, abjad Arab masih memilki beberapa huruf yang diubah fungsinya serta tanda-tanda (simbol) yang lain. Tanda-tanda tersebut berfungsi sebagai simbol bunyi yang belum dilambangkan oleh huruf primernya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan tanda ini bagian pelengkap dalam abjad Arab, sehingga seluruh fonemnya dapat dicakup dan dilambangkan dengan sempurna. Huruf dan tanda itu antara lain: alif maqshurah, lam alif, ta marbuthoh, sukun dan syiddah.
Sebagian besar abjad dan tanda aksara Arab dapat dihubungkan (connector) sementara beberapa simbol tidak dapat dihubungkan (nonconnector). Hubungan antara huruf-huruf ini bersifat dinamis, sehingga melahirkan beberapa bentuk perubahan untuk setiap hurufnya. Perubahan-perubahan bentuk tersebut sangat mudah terjadi pada huruf Arab mengingat bentuknya yang geometris.
Adapun aturan-aturan penulisan huruf Arab, yaitu:
1. Huruf-huruf yang hanya dapat disambungkan dengan huruf sebelumnya, sementara tidak dengan setelahnya seperti alif, dal, dzal, zay, dan waw.
2. Huruf tho dan zho adalah dua huruf yang dapat dihubungkan dengan huruf-huruf yang datang sebelum dan sesudahnya. Kedua huruf ini tidak mengalami perubahan ketika dihubungkan dengan huruf yang lain.
3. Huruf ba,ta,tsa dan nun tidak mengalami perubahan ketika dihubungkan dengan huruf-huruf yang datang sebelumnya. Sebaliknya ketika dihubungkan dengan huruf-huruf sesudahnya, keempat huruf ini kehilangan bagian akhirnya.
4. Huruf sin, syin, shod,dhod dan mim memiliki aturan seperti huruf-huruf sebelumnya (ba, ta, tsa, dan nun) ketika dihubungkan dengan huruf sebelumnya. Sebaliknya huruf-huruf ini kehilangan ujungnya ketika dihubungkan dengan huruf yang sesudahnya.
5. Hurf ‘ain dan ghain kehilangan ujungnya ketika dihubungkan dengan huruf sesudahnya, contoh (عا , عو , عى). Kemudian kedua huruf ini mengalami perubahan yang lebih besar ketika dihubungkan dengan huruf sebelumnya., misalnya (بعـــ , ثغـــ )
6. Huruf jim, ha, dan kho mengalami perubahan yang sama seperti huruf ‘ain ketika dihubungkan dengan huruf sesudahnya. Sebaliknya ketiga huruf ini akan mengalami perubahan seperti huruf sin dan syin, ketika dihubungkan dengan huruf sebelumnya.
7. Selebihnya adalah huruf-huruf yang berubah-ubah bentuknya seperti (ك, كــ , هــ, ه , ي , يـــ )
Asal usul aksara Arab masih menjadi perdebatan para ahli, baik dari ilmuan Muslim maupun Barat. Perdebatan antara ilmuan itu disebabkan oleh perbedaan pandangan dan ideologi mereka. Ilmuan Barat mengemukakan teori-teori, bahwa asal usul aksara Arab berasal dari skrip bahasa-bahasa yang ada sebelum masa Islam dan menurut ilmuan Islam ada beberapa teori yakni bahwa asal usul aksara Arab merupakan tawqif atau anugerah dari Allah Swt. Menurut Ibn al-Nadhim beliau meriwayatkan bahwa pertama kali yang meletakkan tulisan Arab adalah enam orang dari bangsa Arab pada masa lalu.[3] Riwayat ini diambilnya dari Hisyam al-Kalbi, selain itu ada beberapa riwayat lain yang diambilnya dari Ibn Abbas.
Sementara itu jika dilihat dari pandangan para ahli kontemporer tentang asal usul tulisan Arab, nampaknya lebih bersifat ilmiah dan usaha-usaha untuk membangun sebuah teori. Beatric Gruendler mengutarakan bahwa aksara (skrip) Arab berasal dari aksara Fenisia (Phoenician alphabet), karena –menurutnya- bahasa Arab merupakan yang paling jauh terisolasi. Ada pula yang mengungkapkan bahwa perkembangan skrip Arab dipengaruhi skrip bahasa Nabatean Aramea dan Syriac. Pandangan ini diungkapkan oleh Theodor Noldeke pada tahun 1865 dan diikuti oleh ilmuan Barat lainnya. Akan tetapi teori mulai pudar seiring dengan munculnya teori J. Starcky yang berisi bahwa bahasa Arab berasal dari tulisan bahasa Syriac yang berbentuk meruncing (Syriac Cursive). Bahkan ada yang menyatakan bahwa umat Islam tidak memiliki sistem tulisan sejak kehidupan nabi Muhammad. Hal berbeda dan sangat menarik adalah pendapat M. al Azmi yang menyatakan dalam bukunya “The History of The Quranic Text: from Revelation to Complitation (A Comperative Study with the Old and New Testaments), aksara Arab -menurutnya- adalah sebuah bukti keberhasilan bahasa dan bangsa Arab, sementara teori-teori yang ada seputar asal usul aksara Arab dibangun berdasarkan kepada penilaian yang sangat subjektif atas keberhasilan tersebut.
Terlepas dengan spekulasi asal usulnya, aksara Arab memiliki peran yang besar bagi dunia Islam dalam melestarikan peninggalan-peninggalan Islam klasik. Dan aksara ini juga mengalami perkembangan dan penyempurnaan disamping sebagai alat untuk meminimalisir beberapa kesalahan dalam membaca al Quran.
Penyebaran agama Islam semakin meluas dan tidak dapat dipungkiri lagi pemeluknya bukan orang Arab saja tetapi bangsa non Arab banyak menjadi pemeluk agama Islam. Pertukaran budaya, tradisi dan lain-lain terjadi antara mereka. Al Quran sebagai kitab suci umat Islam tidak hanya dibaca oleh orang Arab saja tetapi seluruh umat Islam. Dampak dari pertukaran budaya semacam itu mengakibatkan terjadinya kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Arab dan dikhawatirkan kesalahan itu terjadi waktu membaca al Quran. Untuk meneyelesaikan permasalahan ini Ali memerintahkan Abu Aswad Al-Dualy (w. 69 H/688 M) untuk mengarang sebuah risalah tentang bahasa Arab. Tata bahasa Arab ini sebagai aturan untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang semakin luas diantara pemeluk Islam. Dan seterusnya konsep yang dibuat al-Dualy disempurnakan oleh al Khalil bin Ahmad al-Farahidi sampai sekarang masih dipergunakan.
BAB IV
PENGAKSARAAN BUNYI BAHASA ARAB
Pengaksaraan bunyi merupakan suatu proses, dimana bunyi-bunyi bahasa dialihkan ke dalam bentuk simbol. Proses ini dilakukan melalui beberapa tahapan, dimulai dari pemilihan bunyi, pelafalan bunyi secara terpisah dari bunyi lain yang berdampingan dengannya dalam konteks kata, penetapan simbol, dan kaidah ejaan sebagai aturan penggunaan simbol tersebut. Pada dasarnya, proses ini merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat bahasa, untuk memudahkan pemanfaatan bunyi-bunyi tersebut dalam berbagai aspek, baik sosial maupun pendidikan. Akan tetapi masih saja terdapat kesulitan-kesulitan dalam penggunaan sistem aksara, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti karakter simbol dan kaidah ejaannya atau juga tingkat pemahaman masyarakat terhadap keduanya. Kesulitan ini tentunya merupakan suatu kendala, karena dapat melahirkan berbagai kesalahan dalam aspek kebahasaan, selain juga dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu sistem aksara baik dari sisi keutamaan maupun kelemahannya.
Fonem bahasa Arab terdiri dari vokal dan konsonan, yang dikenal dengan sebutan bunyi segmental (fonem primer). Selain bunyi segmental, bahasa Arab juga memiliki unsur suprasegmental yang terdiri dari intonasi, tekanan, jeda, dan lain-lainnya.
Pada hakikatnya penulisan (pelambangan) bunyi bahasa itu telah diatur sedemikian rupa dalam ejaan aksaranya, yang tidak lain merupakan konvensi grafis perjanjian diantara anggota masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya. Bunyi bahasa yang seharusnya diucapkan diganti dengan huruf-huruf dan simbol-simbol lainnya. Standar pelambangan itu adalah satuan bunyi (fonem) yang dilafalkan secara terpisah dari bunyi-bunyi lain yang berdampingan dengannya dalam konteks kata. Dasar yang baik dalam melambangkan bunyi adalah satu fonem harus dilambangkan dengan satu simbol, dengan demikian pelambangan atas bahasa lisan akan mendekati kesempurnaan. Perlu juga ditegaskan, bahwa ejaan bahasa Arab tidak memiliki aturan berkenaan dengan penulisan huruf kapital, huruf miring, dan pemenggalan kata. Akan tetapi aksara Arab juga memiliki aturan yang berkaitan dengan penggunaan tanda baca.
Bunyi vokal dalam bahasa Arab ada tiga, yaitu: fathah, kasrah, dan dhommah. Ketiga bunyi ini masing-masing dibedakan menjadi vokal pendek dan vokal panjang. Sehingga dapat disimpulkan , bahwa bunyi vokal dalam bahasa Arab terdiri dari, fathah, fathah thowilah, kasrah, kasrah thowilah, dhommah, dhommah thowilah. Klasifikasi ini berdasarkan fungsi pembeda makna yang dimiliki oleh
Vokal pendek dan panjang. Oleh sebab itu, keenam vokal ini dapat dikatakan fonem dalam bahasa Arab.
Bunyi-bunyi vokal pendek bahasa Arab saat ini dilambangkan dengan menggunakan tanda diakritik (‘alâmat al- tasykil), yaitu: (ــَ , ــِ , ــُ). Sementara bunyi vokal panjang disimbolkan oleh tiga huruf, yaitu: (ا, ي, و ). Tanda diakritik ini pada kenyataannya jarang sekali dijumpai dalam tulisan-tulisan bahasa Arab yang beredar luas, meskipun perannya sangat penting dalam bahasa Arab. Atas dasar peran penting tadi, penggunaan tanda ini pada setiap bahasa Arab sangat dibutuhkan.
Adapun bentuk huruf/aksara Arab adalah ا, ب, ت, ث, ج, ح, خ, د, ذ, ر, ز, س, ش, ص, ض, ط, ظ,غ ع, غ, ف, ق, ك, ل, م,ن, و, هـ, ي dan ada yang menambahkan huruf hamzah (ء). Huruf hamzah merupakan huruf yang paling banyak memiliki bentuk dan perubahan dalam aksara Arab. Simbol huruf hamzah pada umumnya adalah (ء), akan tetapi huruf ini memiliki kaidah penulisan yang rumit, sehingga penulisan huruf ini sering menimbulkan permasalahan. Posisi huruf hamzah -seperti konsonan lain- dapat berada di awal, tengah, atau akhir sebuah kata. Perbedaan posisi ini diikuti pula oleh perubahan pada bentuk-bentuknya, bahkan masing-masing posisi menampilkan beberapa bentuk hamzah.
Ada dua bentuk dalam penulisan hamzah, yaitu hamzah al-qot’I yaitu hamzah yang tetap dilafalkan baik pada awal atau tengah-tengah kalam (kata atau kalimat). Hamzah al-qot’I dalam aksara Arab ditulis di atas alif (أ) apabila setelahnya diikuti oleh bunyi vokal fathah atau dhommah, dan ditulis dibawah alif (إ) apabila setelahnya vokal kasroh. Dan yang kedua adalah hamzah al-washol (the joining hamzah) adalah hamzah yang diucapkan (terdengar) apabila berada di awal sebuah kata, dan tidak diucapkan apabila didahului oleh bunyi lain (berada di tengah kalam). hamzah al-washol hanya disimbolkan dengan alif (ا) tanpa hamzah.
Ada beberapa huruf dan tanda dalam aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bunyi konsonan bahasa Arab seperti:
1. Ta marbuthoh (ة), digunakan untuk menuliskan konsonan /ت/, berfungsi sebagai penanda ta’nits (feminization). Kaidah pelafalannya adalah diucapkan dengan bunyi /ه/ ketika waqf (berhenti).
2. Syaddah (ــّ) adalah tanda diakritik yang digunakan untuk menuliskan dua bunyi konsonan yang sejenis (sama) dan datang beriringan dalam suatu kata tanpa didahului oleh bunyi vokal, contoh (علْلم – علّم , كرْرم – كرّم).
3. Sukun (ـــــْ) adalah tanda yang ditulis diatas sebuah huruf konsonan sebagai penanda bahwa huruf tersebut tidak diikuti oleh bunyi vokal, seperti: (يجْلِسُ).
Dari uraian diatas dapat dapat disimpulkan bahwa semua bunyi konsonan dalam bahasa Arab dapat dilambangkan oleh aksara Arab, baik melalui huruf-huruf yang diubah fungsinya, atau beberapa tanda diakritik.
Unsur suprasegmental merupakan unsur penting dalam sebuah ujaran bahasa, karena dengan adanya unsur ini terjadi proses komunikasi yang baik antar adua sisi, yaitu pembicara dan pendengar. Unsur ini tidak dapat dilihat baik pada struktur kata ataupun kalimat. Oleh sebab itu akan timbul kesulitan jika pendengar tidak mendengarnya dari penutur secara langsung. Unsur ini dapat merubah makna suatu ujaran, hanya dengan merubah variasi-variasi pelafalan suatu kata atau kalimat.
Aksara Arab menuliskan bunyi untuk merekam tekanan, intonasi, dan jeda dalam bahasa Arab menggunakan
(a) Tekanan (nabr/stress). Tekanan adalah salah satu unsur suprasegmental yang diakui keberadaannya dalam bahasa Arab, namun tidak dianggap sebagai pembeda makna. Makna umum sebuah kata atau kalimat dalam pandangan bahasa Arab adalah sama dan tidak berubah, penggunaan tekanan hanya untuk makna sekunder. Unsur ini dapat diartikan sebagai kekuatan yang lebih besar dalam artikulasi pada salah satu silabis (maqtha’). Dari pada silabis-silabis yang lain dalam suatu ujuaran.
(b) Intonasi (intonation/tanghîm) adalah unsur penting yang menyelimuti suatu kalimat ujaran dalam bahasa Arab, dari permulaan hingga akhirnya. Suatu kalimat dapat berubah-ubah makna seiring dengan perbedaan intonasinya. Intonasi rendah biasanya digunakan jika kalimat telah lengkap baik bentuk atau maknanya, sementara intonasi tinggi untuk menyatakan bahwa kalimat belum sempurna dan masih berkaitan dengan kalimat selanjutnya. Melihat fungsi intonasi yang demikian besar dalam ujaran bahasa Arab, apara ahli menandakan unsur ini melalui penggunaan beberapa tanda baca, seperti tanda koma(,), titik (.), seru (!), dan lain-lainnya.
Setiap sesuatu mempunyai keutamaan dan kelemahan, begitu pula dengan aksara bahasa Arab, adapun keunggulannya yaitu kesempurnaan bahasa Arab dalam menuliskan semua bunyi baik segmental maupun suprasegmental yang ada dalam bahasanya, kedua, keharmonisan yang ditandai dengan setiap fonem (satuan bunyi) ditulis dengan satu simbol dan satu simbol tidak boleh digunakan untuk menuliskan lebih dari satu bunyi, ketiga, kesedehanaan dalam artian penulisan aksara bahasa Arab mudah dipahami dan digunakan. Adapun kelemahan dalam bahasa Arab yaitu, huruf aksara bahasa Arab memiliki berbagai macam bentuk perubahan, baik huruf yang berada di awal, di tengah maupun yang di akhir sebuah kata, kedua, bentuk-bentuk huruf bahasa Arab memiliki karakter yang berbeda-beda, ketiga, adanya kesamaan dari beberapa huruf Arab, keempat, tulisan Arab secara umum tidak menggunakan syakal (tanda diakrtik) sehingga orang yang awam susah memahaminya, kelima, pembentukan huruf-huruf Arab sangat sulit.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan tesis adalah bahwa aksara Arab memiliki keutamaan dan kelemahan, yang sama-sama dapat menjadi kendala pada saat melakukan perannya sebagai pelambang bunyi bahasa Arab. Kendala tersebut terjadi akibat adanya tingkat kesulitan pada kedua aspek tersebut, sehingga sering kali dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan dalam aspek kebahasaan. Kesimpulan ini sejalan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya tentang kesulitan-kesulitan seputar penggunaan aksara Arab, seperti al Qasimî (1979), al Syuwayrif (1999), dan Bisyr (2000), serta kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam penulisan huruf Arab yang telah dikemukakan oleh al Khûlii (1989), al Najjâr (2001) dan Thu’aymah (2001).
Hasil penelitian ini dibangun dan didukung oleh beberapa kenyataan, pertama, pengaksaraan bunyi bahasa Arab oleh sistem aksaranya harus berlandaskan kepada satu simbol untuk satu fonem (satuan bunyi), sehingga bunyi-bunyi yang terjadi dalam konteks sesungguhnya tidak menjadi acuan. Kedua, kendala penggunaan aksara Arab pada saat berlangsungnya proses pelambangan bunyi bahasa Arab, yang disebabkan oleh adanya tingkat kesulitan baik pada sisi keutamaan atau kelemahan dari aksara ini.
Proses pelambangan bunyi bahasa Arab dilakukan dan melalui beberapa tahap, dimulai dengan penentuan bunyi-bunyi yang memiliki fungsi pembeda makna atau fonem. Pelafalan bunyi-bunyi tersebut secara terpisah dari bunyi-bunyi lain yang berdampingan dengannya pada konteks kata, penetapan simbol untuk bunyi bahasa Arab baik dengan huruf primer atan tanda-tanda lain yang tersusun dalam abjad Arab, untuk selanjutnya ditetapkan kaidah ejaan sebagai aturan. Proses tersebut pada akhirnya melahirkan kesulitan-kesulitan yang dapat menjadi kendala dalam pemakaian aksara Arab sebagai sistem bahasa tulis.
Kesulitan penggunaan aksara Arab terletak pada: penulisan tanda diakritik untuk vokal pendek dan bunyi lain yang berada di luar struktur kata, ketidakharmonisan dalam penulisan fathah thowîlah dan taa dengan dua simbol (ا, ى) dan (ة, ت) seperti yang diungkapkan oleh Nâyif M. Ma’rûf, perbedaan pelafalan dalam simbol (ال) antara al qamariyyah dan al syamsiyyah, dan ketidak sesuaian antara simbol dan bunyi, seperti simbol tertulis tanpa bunyi yang terucap pada kata (عمرو, مائة, خرجوا), atau sebaliknya bunyi terucap tanpa ada tanda tertulis pada kata (الله, هذا, هؤلاء).
ini adalah review dari tesis yang berjudul bunyi dan aksara dalam bahasa Arab


[1] Ibnu Jinnî nama lengkapnya adalah Abu al-Fath Utsman anak dari seorang yang berasal dari Romawi yang bernama Jinnî, seorang pembantu dari Sulaiman Ibn Ahmad al-Azzadi, sehingga ia dinasabkan kepada al-Azzadi. Lahir di al-Mausit (Iraq sekarang) tahun 321/322 H dan wafat pada tahun 392 H dalam umur 70 tahun.
[2] Susunan abjad adalah susunan yang sama seperti susunan abjad latin (a, b, c, d, …..) yaitu (ابجد هوز حطي كلمن سعفص قرشت ثخذ ضظغ) . susunan hijai (alphabet) adalah susunan yang mengikuti huruf-huruf Arab dimulai dari alif,ba,ta, dan seterusnya. Sementara susunan makharj adalah urutan yang disesuaikan dengan tempat keluarnya suara seperti menurut al Khalil ((ع,ح,ه,خ,غ,ق,ك,ج,ش,ض,ص,س,ز,ط,د,ت,ظ,ذ,ث,ر,ل,ن,ف,ب,م,و,ا,ي,الهمزة
[3]Enam orang itu adalah Abjad, Hawwaz, hatti, kalamun, Sa’fas, Qurisyat yang sampai pada Adnan Ibn Udid. Ketika mereka menemukan bunyi-bunyi yang tidak terdapat pada nama-namanya, mereka menamakannya dengan Tsakhadz dan Dhazgh.

1 Comments

  1. saya bisa minta refrensi dari mana saja diambill? dari buku apa saja

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post